Bubur Suro, Kuliner Muharram yang Punya Makna Spiritual

Buletinnews- Bulan Muharram, sebagian masyarakat Jawa menghidangkan bubur suro dalam acara ruwatan, tasyakuran, atau doa bersama.
Hidangan ini bukan sekadar makanan, tetapi bagian dari tradisi budaya yang sarat makna simbolis.
Bubur suro dikenal luas sebagai simbol rasa syukur dan permohonan keselamatan.
Di Jombang, salah satu pembuatnya adalah Atik Maria Ningsih, warga Desa Sidowarek, Kecamatan Ngoro, yang sejak tahun 2018 rutin memproduksi bubur ini setiap bulan Suro.
“Bubur suro ini berbeda dengan bubur ayam biasa. Bahannya memang sama dari beras, tapi isian dan maksud penyajiannya berbeda,” ujar Atik pada awak media, Sabtu (5/7).
Secara tampilan dan isi, bubur suro memiliki tujuh jenis lauk pelengkap. Angka tujuh dianggap membawa makna spiritual dan perlindungan.
Lauk-lauk tersebut antara lain ikan teri, kacang goreng, sambal goreng krecek, tempe kletik, telur dadar iris, ayam suwir berbumbu, dan kerupuk.
Berbeda dengan bubur ayam biasa yang disajikan dengan kuah kaldu, cakwe, dan sambal kecap, bubur suro cenderung lebih kering dan tidak memakai kuah.
Penyajiannya lengkap dalam satu piring atau kotak, dan sering kali dikonsumsi secara berjamaah dalam acara adat.
“Biasanya dipesan untuk tolak balak, tasyakuran keluarga, atau doa 10 Muharram. Warga percaya ini bagian dari menjaga keselamatan,” pungkas Atik.